CSR: Berkah atau Kutukan?

canta y no llores

Pada februari 2012, Saya berkesempatan mengunjungi tanah Papua untuk pertama kali. Pekerjaan sebagai peneliti freelance ketika itu memang selalu membawa Saya ke berbagai pelosok Indonesia. Malam itu, Saya dan tim menginap di Kampung Iwaka (pemukiman orang Kamoro) dalam rangka studi sosial untuk membantu sebuah perusahaan kelapa sawit. Saya perhatikan bahwa rumah, air bersih, fasilitas MCK, pusat kesehatan, bahkan gaji kepala kampung di sana diberikan oleh PT Freeport Indonesia. Sehari sebelumnya, ketika masih di Kota Timika, Saya sempat berbincang dengan seorang dari suku Amungme, Ia bilang “Ah ini su tanggal berapa, Freeport belum lagi kasih kami pu uang. Uang 1% itu hak kami, Pak!”. Sebagai Antropolog, sedari dulu Saya tertarik dengan kehidupan orang Kamoro dan Papua pada umumnya, tetapi Saya juga terenyuh dengan potret ketergantungan mereka. Gambaran ini bukan hanya Saya temui di Papua, tetapi juga di tengah Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan berbasis sumber daya alam adalah gajah di depan mata yang terlihat sejelas-jelasnya.

Kontras antara maksud dengan hasil dari praktik Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan tidak hanya menarik, tetapi juga penting untuk disimak. Hakikatnya CSR, khususnya Community Development (CD), dilakukan sebagai bentuk itikad baik perusahaan atas kepentingan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, keluaran dari berbagai praktik CSR perusahaan selain memakan banyak biaya, juga tidak menyasar tujuan yang sebenarnya. CSR pada akhirnya justru menyengsarakan bagi perusahaan dan menimbulkan masalah baru di masyarakat. CSR seakan menjelma menjadi kutukan bagi bagi masyarakat. Dari fakta tersebut, Saya berpendapat bahwa kekeliruan dalam cara pelaksanaan CSR perusahaan alih-alih memberdayakan justru menciptakan ketergantungan masyarakat.

Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar masyarakat kenyataannya lebih banyak melakukan CSR mereka dengan prinsip charity, hibah atau uang keamanan daripada sebuah program pemberdayaan masyarakat. Uang ratusan juta, bahkan milyaran rupiah yang dikeluarkan seolah-olah menjadi pembenaran atas praktik CSR yang keliru tersebut. Mereka pikir dengan semakin banyak memberi, semakin baik dampaknya terhadap masyarakat dan perusahaan itu sendiri. Sebuah persepsi yang banal.

Pemerintah Indonesia pun seperti separuh hati dalam menaungi tanggung jawab sosial perusahaan. Hingga kini, praktik CSR di Indonesia sebenarnya masih berada di wilayah abu-abu. UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dikeluarkan pemerintah hanya menyebutkan dan tidak memiliki kekuatan mengikat mengenai CSR. Tanggung jawab perusahaan seolah-olah berbunyi “dilakukan sukur, tidak dilakukan ya tidak apa-apa”. Dengan demikian, perusahaan yang melakukan CSR seolah-olah telah melebihi ketentuan pemerintah, walau pun yang dilakukan masih ‘jauh panggang dari api’.

Lebih ironis, dari beberapa pengalaman penelitian di beberapa perusahaan di Indonesia, Saya melihat kesediaan perusahaan untuk melakukan CSR acap kali disebabkan oleh keterpaksaan.  Masyarakat kian berani menuntut pasca runtuhnya rezim militer. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan relatif aman dari ‘gangguan’ karena mendapatkan perlindungan keamanan dari tentara pada masa sebelum reformasi. Praktis dalam dua windu terakhir, perusahaan-perusahaan akhirnya mau-tidak-mau merelakan sebagaian dana untuk pos CSR. Pola salah kaprah seperti itu umum dijumpai dalam berbagai praktik CSR, terutama perusahaan berbasis sumber daya alam.

Pun pasca terbitnya PP nomor 47 tahun 2012 tentang tanggung jawab perusahaan akhir April lalu, kesalahpahaman konsep CSR tetap berlanjut. Kekeliruan tersebut jelas terlihat, salah satunya, dari cara perusahaan menyikapi keluarnya PP No. 47 tahun 2012. Perusahaan-perusahaan ekstraksi dan pengolahan sumber daya alam ramai-ramai protes karena tidak adanya acuan besaran anggaran untuk melakukan CSR (Kontan 2/5). Cara perusahaan memandang PP no. 47 tahun 2012 tersebut merupakan representasi bahwa di mata perusahaan, CSR semata-mata adalah urusan beban pengeluaran. Mereka menunjukkan bahwa kepedulian perusahaan adalah pada berapa banyak rupiah yang dikeluarkan, bukan pada cara mereka memberdayakan masyarakat di sekitarnya.

Saya sendiri menjadi saksi betapa pelaksanaan CSR perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam justru membuat masyarakat jadi tidak berdaya. Di tengah belantara hutan Katingan, Kalimantan Tengah, orang-orang Dayak Ngaju mempertanyakan mengenai status Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang tidak jelas. Berbagai program perusahaan logging yang lebih banyak dinikmati orang-orang kota mengatasnamakan orang-orang Dayak. Di Timika, “uang 1%” telah menjadi frase harian. Orang Amungme, Kamoro, Asmat dan beberapa suku lainnya seakan-akan tidak bisa hidup tanpa uang dari perusahaan Amerika. Di Soroako, Sulawesi Selatan, KWAS, IKAT, dan berbagai kelompok masyarakat lain berkompetisi memperebutkan program CSR Perusahaan tambang setempat. Di Riau, perusahaan-perusahaan kelapa sawit kesulitan untuk menolak tuntutan elit-elit lokal dan masyarakat yang hampir setiap hari datang, dan masih banyak lagi contoh dalam catatan lapangan Saya. Apa yang perlu digarisbawahi dari kasus-kasus tersebut adalah CSR yang sepatutnya menjadi bagian dari upaya perusahaan untuk membantu masyarakat pada akhirnya menciptakan masalah baru yang bersifat sistemik.

Kehadiran perusahaan di tengah-tengah masyarakat adalah harapan bagi perbaikan nasib mereka. Umumnya, masyarakat memanfaatkan keberadaan perusahaan sebagai tempat meminta kebutuhan-kebutuhan hidup yang tak kunjung dapat difasilitasi negara.

Frynas (2004:169), dalam buku Beyond Corporate Social Responsibility menuliskan  The need for CSR is greatest in societies where the government has not been successful in providing public goods and effective regulation.

Oleh karena itu, keberadaan perusahaan tidak jarang menjadi tumpuan bagi masyarakat di sekitarnya karena negara tidak hadir di sana.

Permasalahannya, semakin tinggi permintaan masyarakat akan bantuan, semakin banyak pula perusahaan memberikan hibah atau bantuan charity. Cara perusahaan tersebut bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, melainkan juga menimbulkan unintended consequences. Dalam banyak kasus, CSR cenderung menciptakan ketergantungan yang mengakibatkan masyarakat jadi terbiasa untuk memanjakan hidupnya dari pemberian perusahaan. Setiap dana atau bantuan yang datang tidak mendidik masyarakat untuk mandiri, tetapi justru semakin meminta lebih. Di saat bersamaan, CSR juga kerap menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. Dari kecemburuan ini muncul kompetisi dalam masyarakat untuk mendapatkan santunan dari perusahaan yang tidak jarang berujung konflik. Pada akhirnya, semakin banyak perusahaan melakukan CSR yang bersifat ‘pemadam kebakaran’, semakin tinggi permintaan masyarakat.

Perubahan mutlak diperlukan bagi perusahaan agar CSR benar-benar menjadi praktik yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan di saat bersamaan melanggengkan bisnis. Pertama, hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan makna baru bagi CSR. Jangan lagi memandang CSR sebagai cost, tetapi mulai dimaknai  sebagai bagian dari investasi. Pemaknaan baru ini wajib diikuti oleh langkah kedua, yaitu mengubah kebiasaan donasi menjadi program. Pelaksanaan CSR dengan pemberian bantuan berupa uang atau barang-barang sepatutnya dihindari. CSR sepatutnya diarahkan pada program pengembangan kualitas sumber daya manusia, terutama yang dapat menjadi alternatif memperoleh penghasilan. Catatan penting untuk pelaksanaan program ini adalah perusahaan tidak boleh berhenti pada proses memperkaya pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga harus membantu menyalurkan karya masyarakat. Dengan demikian, program yang dilakukan menjadi terpadu dan benar-benar membuat masyarakat berdaya. Ketika masyarakat memiliki keterampilan, pengetahuan dan memiliki karya yang dapat disalurkan menjadi penghasilan secara mandiri, pada titik itulah perusahaan dikatakan berhasil melakukan CSR.

Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa jalan menuju mindset baru dalam melakukan CSR tidak semudah menuliskannya di atas kertas. Perlu langkah-langkah bertahap, berkelanjutan dan simultan. Mulai dari penyadaran orang-orang di level pengambil kebijakan, restrukturisasi pelaksana program CSR, penelitian mendalam, hingga pelibatan masyarakat dalam tahap perencanaan.  Dua hal terakhir amat diperlukan untuk menunjang program-program pemberdayaan yang tepat guna dan sasaran agar mendorong masyarakat benar-benar mandiri. Karena sebaik-baiknya CSR adalah CSR yang tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan. Karena, CSR memang seharusnya tidak menjadi kutukan, tetapi berkah bagi masyarakat di sekitar perusahaan.

Leave a comment